Kenangan tentang Pater Frans Pora Ujan, SVD
Pater Frans Pora Ujan, SVD, meninggal pada 20 Oktober 2025. Kematian beliau mengagetkan banyak orang, termasuk saya yang sempat berkomunikasi dengan beliau melalui WhatsApp beberapa kali. Beliau tetap aktif dan menunjukkan perhatian terhadap karya-karya saya. Bahkan, ia sering memesan buku-buku saya.
Buku terakhir yang ia baca adalah Sebelum Bunuh Diri: Fakta, Data, dan Pencegahan Bunuh Diri. Dalam tulisan di media sosialnya, ia menulis, “Pa Robert, suatu usaha yang bagus. Semoga membantu orang tua dan para guru dalam usaha mendampingi para remaja kita.” Tulisan ini mencerminkan kepedulian beliau terhadap generasi muda.
Saya merasa terhormat dapat ikut berkontribusi dalam buku Bunga Rampai yang diterbitkan sebagai persembahan untuk memperingati 50 tahun imamat Pater Frans pada tahun 2021 lalu. Pak Marcel Ruben Payong meminta saya untuk menulis sebuah anekdot untuk sang idolanya. Marsel telah menyediakan seekor babi untuk pesta emas, namun bukan untuk dikonsumsi. Babi itu dijual dan hasilnya digunakan sebagai modal untuk membuat buku kenangan 50 tahun emas. Saya pun dengan senang hati ikut menulis. Meski tidak sebanding dengan seekor babi, tulisan saya bisa memberikan kontribusi yang berarti.
Pertemuan Pertama dengan Pater Frans
Pertemuan pertama saya dengan Pater Frans terjadi sekitar tahun 1985. Saat itu, Mundus (P. Raimundus Beda SVD) berada di Sesado Hokeng, dan Pater Frans, yang saat itu menjadi Provinsial SVD Ruteng, mampir di Seminari Hokeng. Ini adalah pertama kalinya saya tahu bahwa ada provinsial lain selain P. Paulus Tera SVD dari Ende.
Pertemuan kedua terjadi saat saya berkunjung ke Ruteng. Pater Frans yang sangat energik masih menjabat sebagai provinsial. Ia mengantar kami beberapa teman dari Ruteng ke Labuan Bajo. Dengan menyetir sendiri mobil, ia banyak berbagi pengalaman dan membuka wawasan bagi anak-anak sekampungnya.
Frans Pora dalam Berbagai Generasi
Jika Graeme Condrignton dan Sue Grant Marshal membagi teori generasi, maka saya melihat bahwa Pater Frans Pora cocok dalam semua generasi. Ia lahir pada periode generasi tradisional-konservatif (19/7/1941). Lima tahun kemudian, ia masuk dalam generasi baby-boomers (1946-1964), sebuah periode yang sangat sulit dan kompetitif.
Dunia ternyata tidak selebar Waimuda karena ia bisa ke Hadakewa kemudian Hokeng (1955-1962). Saat memasuki generasi X (1965-1980), Pora melewatinya dengan pendidikan dan kerja keras mulai dari Ledalero (1963-1970) hingga Roma (1973-1976).
Ia lalu masuk berinteraksi dengan generasi Y (1981-1996), saat mulai berkarya dan mengambil posisi sentral sebagai direktur APK (1982-1988) dan Provinsial SVD Ruteng (1986-1993). Pada dua tahun 1986-1988, ia bahkan merangkap jabatan Provinsial dan direktur APK.
Ia tidak berhenti di sana. Generasi Z (1997-2010) juga tidak sulit untuk ia jalin kontak. Inilah periode di mana Pora selain kembali ke basis sebagai dosen, tetapi juga menepi ke Novisiat Kuwu sebagai pembina.
Kemampuan Beradaptasi dengan Segala Generasi
Mengapa Frans Pora tidak sulit masuk ke setiap generasi dan begitu mudah pula diterima? Mengutip Price, C (2009) dalam Why Don’t My Students Think I’m Groovy, dan juga pada artikel online tentang Five Strategies to Engage Today’s Students, 2011, saya merasa strategi 5R merupakan jawaban yang tepat yakni: riset, relevan, rasional, rileks, dan rapor (hubungan baik).
Frans Pora menjadi seorang pengamat (riset tingkah laku) yang jitu. Ia mengenal orang lain apa adanya dan menjadikannya sebagai basis untuk jalin hubungan. Inilah alasan mengapa ia jadi ‘klop’ dengan setiap generasi. Di kelas sebagai guru ia juga membawakan pembelajaran yang relevan dan ‘nyambung’ dengan kebutuhan. Di luar kelas, ia pun rileks yakni tahu tempat di mana ia bisa santai tetapi juga tahu kapan harus mengantar mahasiswanya berpikir rasional.
Simbol Hujan
Apa yang bisa menjadi simbol yang menggambarkan seorang Frans Pora? Sambil bertanya demikian, hujan sore menjelang malam saat kematiannya seakan menjadi jawaban: hujan.
Hujan adalah bagian dari siklus air: mengendap dalam tanah, mengalami penguapan air, mengembun di atmosfer hingga jatuh kembali sebagai tetesan air. Frans Pora menghidupi falsafah dari siklus air. Sebagai hujan, Pora menghadirkan makna filosofis dan spiritual dari air. Ia adalah simbol kehidupan, harapan, pembaharuan, dan berkah.
Ibarat air yang lewat, yang ditinggalkan adalah kehidupan. Sebuah kehidupan yang disertai tugas membaharui dunia dan jadi berkat bagi banyak orang. Ini sebuah fakta yang tidak bisa disangkal oleh siapapun yang pernah jadi mahasiswanya.
Hujan juga membawa makna ketenangan, kesegaran, dan kesempatan introspeksi diri. Kematian Pora kelihatan ‘tanpa masalah’. Ia tidak mau menjadi beban banyak orang. Karenanya di sore harinya ia masih sempat menyapa rekan-rekannya di dunia maya.
Tetapi keitka malam menjemput, ia biarkan diri untuk pergi dengan tenang dengan penuh keyakinan bahwa ‘di sana’ ia mengalam kesegaran yang abadi. Ia pergi ke mata air yang sebenarnya.
Nama yang Membawa Makna
Makna simbolik ini tentu bukan sebuah kebetulan untuk Frans Pora karena memang ia berasal dari ‘hujan’ (Ujan). Mitos mengatakan, sukunya keluar dari tanah (seperti air yang mengendap) dan duduk di bawah pohon bernama ‘uja’.
Tetapi tidak kebetulan bahwa dari tanah yang sudah mengendap, keluarlah uap air yang mengembun dan kemudian menjadi titik air hujan. Karena selalu menghasilkan air hujan maka disebut sebagai ‘Ata Ujan’ sebagai sebuah pengakuan.
Tetapi Frans tidak berhenti di situ. Sebagai hujan ia membawa kesegaran bagi tanaman yang sempat dilewati. Ia lebih dari itu menjadi penyiram. Ibarat bambu yang sangat banyak di Kalikasa, ia membelah dirinya, mengeluarkan buku agar jadi penyalur dan penyiram di lintas daerah terutama di Manggarai.
Selamat jalan sang penyiram, kembali ke Sumber Air utama. (*)





















